Hiruk Pikuk Omnibus Law
Omnibus law adalah undang-undang yang mencakup berbagai topik dalam suatu hukum yang mana bertujuan untuk merevisi sejumlah undang-undang secara sekaligus. Dimana satu undang-undang merubah banyak undang-undang sekaligus karena banyaknya undang-undang yang saling tumbang tindih maka dilakukan perubahan secara bersamaan. Dengan kata lain, omnibus law memliki arti suatu metode untuk menggabungkan beberapa aturan yang substansi peraturannya berbeda, menjadi satu.
Omnibus law tidak hanya mengatur soal pekerjaan atau disebut cipta kerja, seperti yang menjadi sorotan belakangan ini. Didalam omnibus law juga mengatur soal perpajakan dan pengembangan UMKM. Tujuan omnibus law yaitu untuk mengundang para investor datang dan membuka lapangan kerja di Indonesia. Tujuan utamanya sebagai peningkatan ekonomi Indonesia, tapi di lain sisi undang-undang ini mengabaikan sektor lain yaitu lingkungan, sosial, budaya, bahkan kesejahteraan pekerja di Indonesia. Itulah yang menyebabkan banyak penolakan dari banyak pihak terutama dari pihak buruh.
Secara keseluruhan, ada 11 klaster yang menjadi pembahasan dalam RUU omnibus law cipta kerja, yaitu :
Penyederhanaan perizinan tanah
Persyaratan investasi
Ketenagakerjaan
Kemudahan dan pelindungan UMKM
Kemudahan berusaha
Dukungan riset dan inovasi
Administrasi pemerintahan
Pengenaan sanksi
Pengendalian lahan
Kemudahan proyek pemerintah
Kawasan Ekonomi Khusus
Namun dalam RUU cipta kerja ini, ada beberapa pasal yang kontroversi dan merugikan masyarakat khususnya buruh, banyak yang berpendapat bahwa RUU cipta kerja memihak kepada investor. Banyak informasi beredar beberapa hal yang menjadi pokok masalah dalam RUU cipta kerja sehingga menjadi masalah. Seperti hak cuti, upah, pesangon, dan hubungan kerja yang menguntungkan pengusaha saja. Hal ini membuat para buruh menggelar aksi mogok nasional dilakukan untuk merespon disahkannya UU omnibus law cipta kerja yang menyatakan menolak omnibus law cipta kerja dan akan mogok nasional pada 6-8 Oktober 2020. Dalam mogok nasional buruh akan menyuarakan hak-hak nya. Adapun 2 juta buruh yang mogok nasional antara lain Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Serang, Cilegon, Bekasi, Karawang, Purwakarta, Subang, Cirebon, Bandung, Semarang, Kendal, Jepara, Yogyakarta, Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan Pasuruan. Pengesahan omnibus law RUU cipta kerja dalam rapat paripurna DPR RI pada Senin 5 Oktober 2020 memicu adanya demonstrasi dari berbagai pihak mulai dari buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil bahkan anak STM juga ikut turun ke jalan yang menggelar demonstrasi di berbagai kota sebagai bentuk menolak UU cipta kerja bahkan berujung ricuh di berbagai kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Malang dan lainnya.
Permasalahan ekonomi yang ingin diselesaikan dengan omnibus law cipta kerja ini yaitu untuk menarik investasi, meningkatkan daya saing, meningkatkan produktifitas, kemudahan dalam membuka bisnis, dan untuk membuka lapangan kerja. Omnibuslaw sudah diperbincangkan sejak pidato pertama saat Joko Widodo dilantik menjadi presiden untuk kedua kalinya, pembentukan satgas omnibus law, penyampaian RUU omnibus law dari presiden ke DPR RI untuk dibahas, pembicaraan tingkat I, pengambilan keputusan atas hasil pembahasan RUU tentang cipta kerja, hingga pengesahan UU cipta kerja pada Senin 5 Oktober 2020 yang di agendakan pada 8 Oktober 2020 dimajukan hal ini terkesan tergesa-gesa dalam pengesahan UU. Sidang paripurna DPR RI dalam pengesahan UU cipta kerja dipimpin oleh wakil ketua DPR RI Aziz Syamsudin, total anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna sebanyak 318 dari 575 anggota DPR baik secara fisik maupun secara virtual. Dalam rapat paripurna ini dihadiri 9 fraksi di DPR yang kembali menyampaikan pandangan fraksi soal RUU cipta kerja. Dalam rapat kerja Badan Legislasi 7 fraksi yaitu fraksi partai demokrasi Indonesia perjuangan, fraksi partai golkar, fraksi partai gerindra, fraksi partai nasdem, fraksi partai kebangkitan bangsa, fraksi partai amanat nasional, serta fraksi partai persatuan pembangunan menerima hasil kerja panja dan menyetujui agar RUU tentang cipta kerja disampaikan kepada pimpinan DPR untuk dibawa dalam tahap pembicaraan tingkat II dan rapat paripurna DPR RI untuk ditetapkan dan disetujui sebagai undang-undang. Adapun 2 fraksi yaitu fraksi partai democrat dan fraksi partai kesejahteraan bangsa belum menerima hasil kerja panja dan menolak RUU tentang cipta kerja dilanjutkan dalam tahap pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR. Dalam rapat paripurna fraksi partai demokrat walk out dari rapat paripurna, hal ini berawal ketika wakil ketua DPR RI Aziz Syamsudin telah menyampaikan sikapnya terkait RUU cipta kerja sebagai pimpinan rapat paripurna, Aziz tidak memberikan kesempatan kepada Benny dari fraksi partai demokrat untuk berbicara dengan alasan sudah diberi kesempatan untuk berbicara. Terjadi perdebatan Benny yang ingin bicara terlebih dahulu akan tetapi Aziz menolak agar pemerintah dulu yang berbicara Benny tetap ngotot agar berbicara terlebih dahulu hingga Aziz mengancam akan dikeluarkan dari ruang paripurna jika tidak mengikuti aturan, interupsi akan diterima setelah pandangan dari pemerintah tetapi Benny tetap bersikeras akan interupsi sebelum pandangan dari pemerintah dan ditolak, pada akhirnya fraksi partai demokrat menyatakan walk out dan tidak bertanggung jawab.
Pembahasan omnibus law dikebut terus-terus pengesahannya pun cenderung tergesa-gesa dan dimajukan, harusnya berfokus utama pada pandemi covid 19 terlebih dahulu masalah kesehatan harus menjadi prioritas kala pandemi, jika pengesahan UU menimbulkan demonstrasi mengapa dilakukan ketika pandemic covid 19, ketika demo tidak mungkin tidak berkerumunan masa dan mustahil untuk menjaga jarak, jadi percuma edukasi 3M yakni menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Saat itu di Jakarta sedang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) apa beranggapan jika PSBB tidak akan terjadi demo, PSBB di Jakarta jadi percuma karena tetap akan menimbulkan demo walaupun tidak diperbolehkan demo tetap saja akan terjadi demo. Omnibus law sudah lama diperdebatkan dan masyarakat banyak yang menolak, mengapa disahkan saat pandemi apa urgensinya? harusnya memikirkan sebab akibat akan pengesahan omnibus law saat pandemi covid 19, jika demo dilarang mengapa membuat kebijakan yang membuat demo.
Beredarnya banyak informasi yang ada di masyarakat menjadi masalah pasalnya naskah yang beredar juga berbeda halamannya ada 4 versi naskah yang beredar setelah disahkan sejak 5 Oktober 2020. Versi pertama 905 halaman yang diketok di rapat paripurna, versi kedua 1.052 halaman, versi ketiga 1035 halaman, dan versi keempat 812 halaman yang diberikan kepada presiden, apakah naskahnya diubah ada penghapusan atau penambahan pasal terjadi, ketua Badan Legislasi mengatakan ada perubahan, sedangkan yang diyakini wakil ketua DPR RI Aziz Syamsudin tidak ada perubahan padahal banyak perubahan yang sifatnya substansi , secara substansi dan redaksional tidak boleh diubah UU yang sudah diketok dalam rapat paripurna, UU No.12 tahun 2011 pasal 72 dan penjelasan dari pasal 72 yang mengatakan bahwa memang ada kesempatan 7 hari tapi hanya penyesuaian teknis untuk dikirimkan ke presiden, penyesuaian teknis tersebut supaya sesuai dengan format lembaran Negara, jadi tidak boleh ada penambahan kata bahkan tidak boleh lagi menambahkan titik dan koma karena titik dan koma bisa mengubah substansi. UU ini dibuat secara tergesa-gesa, seharusnya diselesaikan sebelum diajukan ke rapat paripurna antara presiden dan DPR maka, seharusnya naskah itu diselesaikan dalam format naskah yang sudah selesai dalam konteks yang sudah selesai baru kemudian dibawa ke rapat paripurna oleh sebab itu kenapa harus dibagikan ke setiap anggota DPR karena paripurna itu pada dasarnya adalah yang dihitung adalah setiap kepala disitu, bukan lagi dihitung 1 fraksi atau yang lainnya karena paripurna itu hitungan semua anggota DPR harus memberikan suara dan semua anggota DPR harus memberikan persetujuannya terhadap itu. Pada saat rapat paripurna naskah tidak dibagikan kepada peserta rapat yang hadir harusnya ketika rapat paripurna semua diberi naskah UU tersebut agar lebih jelas, anggota Badan Legislasi saja tidak pegang naskahnya harusnya hal ini tidak boleh terjadi.
Pemerintah menyatakan protes publik terhadap RUU cipta kerja sebagai hoaks, pada pernyataan pers UU cipta kerja tanggal 9 Oktober 2020 Presiden Joko Widodo mengatakan adanya unuk rasa penolakan UU cipta kerja yang pada dasarnya dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi dari undang-undang ini dan hoaks di media sosial contohnya ada informasi yang menyebut tentang penghapusan UMP (Upah Minimum Provensi), UMK (Upah Minimum Kota/Kabupaten), UMSP (Upah Minimum Sektoral Provinsi) hal ini tidak benar karena faktanya UMR (Upah Minimum Regional) tetap ada, ada juga yang menyebutkan bahwa upah minimum dihitung perjam ini juga tidak benar tidak ada perubahan dengan system yang sekarang, upah bisa dihitung berdasarkan waktu dan berdasarkan hasil. Kemudian ada kabar yang menyebutkan bahwa semua cuti (cuti sakit, cuti kawinan, cuti khitanan, cuti baptis, cuti kematian, cuti melahirkan) dihapuskan dan tidak ada kompensasinya, ditegaskan juga ini tidak benar hak cuti tetap ada dan dijamin. Kemudian apakah perusahaan bisa mem PHK kapan pun secara sepihak? Ini juga tidak benar, yang benar perusahaan tidak bisa mem PHK secara sepihak. Kemudian pertanyaan mengenai benarkah jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang? Yang benar jaminan sosial tetap ada. Yang juga sering diberitakan tidak benar adalah mengenai dihapusnya AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) itu juga tidak benar AMDAL tetap ada bagi industri besar harus study AMDAL yang ketat, tetapi bagi UMKM lebih ditekankan pada pendampingan dan pengawasan. Ada juga berita mengenai undang-undang cipta kerja ini mendorong komersialisasi pendidikan ini juga tidak benar, karena yang diatur hanyalah pendidikan formal di kawasan ekonomi khusus (KEK), sedangkan perijinan pendidikan tidak diatur didalam undang-undang cipta kerja ini, apalagi perijinan untuk pendidikan di pondok pesantren itu tidak di atur sama sekali dalam undang-undang cipta kerja ini dan aturannya yang ada selama ini tetap berlaku. Kemudian diberitakan bahwa keberadaan bank tanah, bank tanah ini diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, dan konsulidasi lahan serta reforma agrarian ini sangat penting untuk menjamin akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah. Undang-undang ini tidak melakukan resentralisasi kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat, perijinan berusaha dan pengawasannya tetap dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai dengan NSPK(Norma Standar Prosedur dan Kriteria) yang ditetapkan pemerintah pusat agar dapat tercipta standar pelayanan yang baik di seluruh daerah dan penetapan NSPK ini diatur dalam PP (Peraturan Pemerintah), selain itu kewenangan perijinan non perijinan berusaha tetap ada di PEMDA sehingga tidak ada perubahan, bahkan melakukan penyederhanaan, melakukan standarisasi jenis, dan prosedur berusaha di daerah dan perijinan berusaha di daerah diberikan batas waktu ini yang penting.
Simpang siur dan tidak adanya sosialisasi mengenai naskah RUU cipta kerja bikin public jadi bingung. Hal ini membuat pemerintah dan masyarakat saling tuding menyebarkan hoaks. Dalam ketidak adaan informasi ini harusnya Negara menjadi penolong dan tidak langsung putuskan hoaks harusnya membantu masyarakat untuk memberikan kejelasan. Jika hoaks dikatakan adalah disinformasi maka pemerintah sedang melakukan disinformasi karena menuduh orang melakukan hoaks tapi tidak memegang naskahnya.
Sumber : Kompas.com,Narasi.TV
Komentar
Posting Komentar